• Wayang lemah dibeberapa tempat juga disebut dengan wayang gedog. Wayang ini merupakan wayang yang dimainkan dalam rangka upacara agama Hindu di Bali. Wayang lemah dipentaskan tanpa mempergunakan layar atau kelir dan lampu blencong. Dalam memainkan wayangnya, dalang menyandarkan...
  • Seperti namanya, wayang peteng adalah wayang yang dipentaskan di malam hari. Pertunjukan wayang peteng memiliki tema yang lebih luas, dapat berupa hiburan atau spiritual. Wayang peteng berdasarkan tema ceritanya dapat dibagi lagi menjadi sembilan jenis yaitu Wayang Parwa,...
  • Wayang Parwa adalah Wayang kulit yang membawakan lakon - lakon yang bersumber dari wiracarita Mahabrata yang juga dikenal sebagai Astha Dasa Parwa. Wayang Parwa adalah Wayang Kulit yang paling populer dan terdapat di seluruh Bali. Wayang Parwa dipentaskan pada malam hari,...
  • Wayang Ramayana adalah wayang kulit yang membawa lakon-lakon dari wiracarita Ramayana. Wayang ini dipentaskan pada malam hari, memakai kelir dan lampu blencong, dengan diiringi gamelan batel pewayangan berlaras slendro lima nada yang energik dan dinamis. Wayang Ramayana...
  • Wayang Calonarang atau yang juga sering disebut sebagai Wayang Leak, adalah salah satu jenis wayang kulit Bali yang dianggap angker karena dalam pertunjukannya banyak mengungkapkan nilai-nilai magis dan rahasia pangiwa dan panengen. Wayang ini pada dasarnya adalah pertunjukan...

Selasa, 08 Maret 2022

Kang Cing Wie

Foto : https://bit.ly/3HORXyV


    Berawal dari kisah Bali Kuno, yang menceritakan sebuah Kerajaan Balingkang. Dari sinilah kisah kemunculan Barong Landung dimulai. Ketika itu, seorang raja bernama Sri Jaya Pangus memerintah Kerajaan Balingkang. Pada masa pemerintahannya, kehidupan masyarakat amatlah makmur. Kerajaan tenteram dari segi ketahanan militer hingga perdagangannya. Dari hubungan perdangan inilah rumor tentang kemakmuran kerjaan ini terdengar hingga negeri Cina. Para saudagar Cina pun memutuskan datang dan menjalin hubungan pertemanan dengan  kerajaan yang diperintah oleh Sri Jaya Pangus. Dari hubungan ini, lambat laun Sri Jaya Pangus menemukan sorang wanita Cina pujaan hatinya. Wanita ini bernama Kang Cing Wie, putri seorang saudagar Cina yang kaya raya. Raja Balingkang ini akhirnya memutuskan meminang putri saudagar tersebut menjadi permaisurinya. Pinangan sang raja disetujui, hingga digelarlah upacara pernikahan yang amat megah. Seisi kerajaan dan seluruh rakyat ikut bersuka cita merayakannya.
    Bertahun-tahun lamanya setelah pernikahan Sri Jaya Pangus dan Kang Cing Wie, kedua mempelai ini belum juga dikaruniai seorang anak. Ini membawa kesedihan yang amat mendalam pada pihak kerajaan dan seluruh rakyat Kerajaan Balingkang. Keadaan kerajaan saat itu menjadi sangat muram. Hampir tidak pernah diadakan perayaan ataupun acara-acara hiburan oleh kerajaan ataupun masyarakat. Hal-hal yang besifat hura-hura sengaja tidak dilakukan, untuk ikut berbela sungkawa atas kejadian ini. Tertekan dengan apa yang terjadi, akhirnya Raja Sri Jaya Pangus memutuskan pergi meninggalkan Kang Cing Wie untuk mencari pencerahan. Pertualangan pun dilakukan oleh sang raja, hingga akhirnya membuat sang raja terdampar di sebuah tempat di kaki gunung batur.
    Di tempat itu Sri Jaya Pangus memutuskan untuk bermeditasi. Kehadiran sang raja ternyata menarik hati seorang dewi yang menguasai daerah tersebut. Dewi ini bernama Dewi Danu. Ia merupakan dewi penunggu Danau Batur. Ditemani oleh para kerabatnya, sang dewi akhirnya menggoda sang raja yang terbangun dari meditasinya. Raja Kerajaan Balingkang inipun akhirnya tergoda, dan memutuskan menikahi Dewi Danu.
    Singkat cerita, bertahun-tahun lamanya menunggu, Kang Cing Wie menatap kesedihan karena sang suami tidak pernah pulang ke kerajaan. Dari rasa penasarannya, akhirnya permaisuri Kerajaan Balingkang ini memutuskan berpetualang untuk mencari suaminya. Melewati hutan belantara dihadapi, namun perjalanan beliau terhalang oleh angin kencang, beliau berusaha untuk melewatinya, tapi akhirnya Kang Cing Wie terjatuh di sebuah hutan dan tepat di tempat suaminya terdampar dulu. Di sini akhirnya Kang Cing Wie bertemu dengan seorang anak yang tidak lain adalah anak dari perkawinan suaminya yaitu Raja Sri Jaya Pangus dan Dewi Danu.
    Menjumpai kenyataan itu, Kang Cing Wie merasa kecewa dan sakit hati, lalu memutuskan untuk menyerang Dewi Danu yang merebut suaminya. Serangan dari Kang Cing Wie mendapat respon negatif dari Dewi Danu, dan akhinya karena kemarahannya iapun mengeluarkan pasukannya yang berbentuk raksasa dan memporak porandakan pasukan Kang Cing Wie. Tak tega melihat keadaan istri pertamanya yaitu Kang Cing We, sang raja akhirnya memutuskan untuk melindungi Kang Cing Wie dari serangan Dewi Danu. Raja menyadari cintanya kepada Kang Cing Wie tidak akan pernah mati walaupun telah lama meninggalkan permaisurinya tersebut. Melihat Kang Cing Wie dan Sri Jaya Pangus bersatu, membuat Dewi Danu kecewa. Dalam kecewanya, iapun mengutuk kedua pasangan ini menjadi patung.
    Berita tentang berubahnya Sri Jaya Pangus dan Kang Cing Wie menjadi patung, menyebabkan luka yang sangat mendalam bagi rakyat Kerajaan Balingkang. Kesedihan rakyat ini akhirnya membuat Dewi Danu tersadar telah berbuat kesalahan. Ia pun kemudian datang ke kerajaan tersebut membawa seorang anak yang merupakan anak Sri Jaya Pangus. Dengan kedatangan Sang Dewi, rakyat Balingkang pun memutuskan mengangkat anak dari Sri Jaya Pangus menjadi penerus menggantikan raja. Sang Dewi pun mengingatkan rakyat Balingkang untuk terus menghormati dan mengenang mendiang raja serta permaisurinya. Kedua pasangan ini merupakan sosok seorang pelindung, dimana semasa pemerintahannya Kerajaan Balingkang menjadi makmur, aman dan tenteram. Sri Jaya Pangus dan Kang Cing We juga disimbolkan sebagai pasangan yang memiliki cinta sejati. Untuk selalu mengenang jasa-jasa sang raja, rakyat Balingkang akhirnya memutuskan untuk memanifestasikannya ke dalam sebuah barong. Mengingat Raja Sri Jaya Pangus dan Kang Cing Wie di kutuk oleh Dewi Danu. Dari patung itulah rakyat Balingkang membuat sepasang arca, sehingga arca inilah sebagai Barong Landung.

Referensi :

Kumbakarna Lina

Foto : https://bit.ly/3J9tVAp


    Saat Kerajaan Alengka diserbu oleh Rama dan sekutunya, Rahwana memerintahkan pasukannya untuk membangunkan Kumbakarna yang sedang tertidur. Utusan Rahwana membangunkan Kumbakarna dengan menggiring gajah agar menginjak-injak badannya serta menusuk badannya dengan tombak, kemudian saat mata Kumbakarna mulai terbuka, utusannya segera mendekatkan makanan ke hidung Kumbakarna. Setelah menyantap makanan yang dihidangkan, Kumbakarna benar-benar terbangun dari tidurnya.
    Setelah bangun, Kumbakarna menghadap Rahwana. Ia mencoba menasihati Rahwana agar mengembalikan Sita dan menjelaskan bahwa tindakan yang dilakukan kakaknya itu adalah salah. Rahwana sedih mendengar nasihat tersebut sehingga membuat Kumbakarna tersentuh. Tanpa sikap bermusuhan dengan Rama, Kumbakarna maju ke medan perang untuk menunaikan kewajiban sebagai pembela negara. Sebelum bertarung Kumbakarna berbincang-bincang dengan Wibisana, adiknya, setelah itu ia berperang dengan pasukan wanara.
    Dalam peperangan, Kumbakarna banyak membunuh pasukan wanara dan banyak melukai prajurit pilihan seperti Anggada, Sugriwa, Hanoman, Nila, dan lain-lain. Dengan panah saktinya, Rama memutuskan kedua tangan Kumbakarna. Namun dengan kakinya, Kumbakarna masih bisa menginjak-injak pasukan wanara. Kemudian Rama memotong kedua kaki Kumbakarna dengan panahnya. Tanpa tangan dan kaki, Kumbakarna mengguling-gulingkan badannya dan melindas pasukan wanara. Melihat keperkasaan Kumbakarna, Rama merasa terkesan dan kagum. Namun ia tidak ingin Kumbakarna tersiksa terlalu lama. Akhirnya Rama melepaskan panahnya yang terakhir. Panah tersebut memisahkan kepala Kumbakarna dari badannya dan membawanya terbang, lalu jatuh di pusat kota Alengka.

Referensi :

Bambang Ekalawya

Foto : https://bit.ly/3tHEzrd


    Ekalawya (Dewanagari: एकलव्य; IAST: Ekalavya) adalah seorang pangeran dari kaum Nishada (persekutuan dari suku-suku pemburu dan manusia pedalaman) dalam wiracarita India Mahabharata. Diceritakan bahwa ia merupakan anak angkat dari Hiranyadanus, pemimpin kaum Nishada, dan merupakan sekutu Jarasanda. Ia memiliki kemampuan yang setara dengan Arjuna dalam ilmu memanah. Dalam Mahabharata dikisahkan bahwa ia bertekad ingin menjadi pemanah terbaik di dunia sehingga memohon untuk diangkat sebagai murid Drona, tetapi permohonannya ditolak. Meskipun di kemudian hari ia kehilangan ibu jari tangan kanannya, Ekalawya tetap dikenal sebagai seorang pemanah dan kesatria yang tangguh.
    Dalam bahasa Sanskerta, kata Ekalavya secara harfiah berarti "ia yang memusatkan pikirannya kepada suatu ilmu/mata pelajaran". Sesuai dengan arti namanya, Ekalawya adalah seorang kesatria yang memusatkan perhatiannya kepada ilmu memanah. Dalam kisah pedalangan Jawa yang mengadaptasi wiracarita Mahabharata, Ekalawya disebut Bambang Ekalaya atau Bambang Ekawaluya, atau dengan sebutan Bambang Palgunadi
    Dalam kitab Mahabharata dikisahkan bahwa Ekalawya merupakan pemanah dari golongan Nishada. Dengan didasari oleh keinginan untuk memperdalam ilmu panahan, ia datang ke Hastinapura untuk berguru langsung kepada Drona, guru para pangeran Dinasti Kuru (Pandawa dan Korawa). Namun permohonannya ditolak karena Drona khawatir bahwa kemampuannya bisa menandingi Arjuna, murid kesayangan Drona. Di samping itu, Drona berjanji untuk menjadikan Arjuna sebagai satu-satunya kesatria pemanah paling unggul di dunia. Meskipun demikian, penolakan Drona tidak menghalangi niatnya untuk memperdalam ilmu memanah.
    Ekalawya memutuskan untuk kembali ke hutan dan mulai belajar sendiri. Sebagai motivasi dan inspirasi, ia membuat patung berbentuk Drona dari tanah dan lumpur bekas pijakan Drona, serta memuliakan patung tersebut seakan-akan itu adalah Drona yang asli. Berkat kegigihannya dalam berlatih, Ekalawya menjadi seorang prajurit dengan kecakapan dalam ilmu memanah, yang berpotensi untuk menyaingi kemahiran Arjuna.
    Pada suatu hari, saat sedang berlatih di tengah hutan, ia mendengar suara anjing menggonggong ke arahnya. Tanpa melihat sumber suara, Ekalawya melepaskan beberapa anak panah yang akhirnya menyumpal mulut anjing tersebut. Si anjing tidak mati, tetapi sumpalan anak panah membuatnya tak bisa menggongong. Ia pun segera meninggalkan Ekalawya. Saat anjing yang tersumpal itu ditemukan oleh Drona dan para pangeran Dinasti Kuru, mereka kebingungan karena sejauh pengetahuan mereka, tidak ada orang yang mampu melakukan keterampilan memanah seperti itu selain Arjuna. Kemudian mereka melacak jejak anjing tersebut, yang mengarah kepada Ekalawya. Saat diinterogasi, Ekalawya memperkenalkan dirinya sebagai murid Drona. Mendengar pengakuan Ekalawya, timbul kegundahan dalam hati Arjuna, bahwa ia tidak lagi menjadi seorang pemanah terbaik di dunia. Perasaan gundah Arjuna akhirnya terbaca oleh Drona, yang juga teringat akan janjinya untuk menjadikan Arjuna sebagai pemanah terhebat di dunia.
    Saat bertemu Drona dan Arjuna, Ekalawya dengan sigap menyembah sang guru, tetapi ia malah mendapat amarah atas sikap yang dianggap tidak bermoral, yaitu lancang mengaku sebagai murid Drona meskipun dahulu sudah pernah ditolak untuk diterima sebagai murid. Dalam kesempatan itu pula, Drona meminta Ekalawya untuk mempersembahkan guru-daksina apabila mau diakui sebagai murid. Pada zaman India Kuno, guru-daksina merupakan tradisi memberikan sesuatu sesuai permintaan guru kepada muridnya, sebagai tanda terima kasih dari seorang murid yang telah menyelesaikan pendidikan.
    Ekalawya mengaku bahwa ia tidak memiliki barang berharga apa pun untuk diberikan. Namun Drona meminta supaya ia memotong ibu jari tangan kanannya sebagai daksina. Awalnya Ekalawya ragu, tetapi Drona tetap memintanya secara tegas. Permohonan Drona pun dilakukan oleh Ekalawya. Ia menyerahkan ibu jari kanannya kepada Drona, meskipun dia tahu akan akibat dari pengorbanannya tersebut, yaitu kehilangan kemampuan maksimal dalam memanah.
    Dalam kitab Hariwangsa dan Bhagawatapurana, dikisahkan bahwa Ekalawya mengabdi pada Jarasanda di Magadha. Ia juga turut membantu ketika Jarasanda mengepung Mathura, kota para Yadawa. Saat Rukmini dilarikan oleh Kresna, Ekalawya juga turut melakukan pengejaran bersama Jarasanda dan Sisupala. 
    Kematian Ekalawya termuat dalam Srimad-bhagawatam. Setelah tewasnya Jarasanda, Ekalawya bertempur untuk membalas dendam dengan cara mengepung Dwaraka, kediaman Kresna dan Baladewa (Balarama). Ia bertarung melawan pasukan Yadawa, dan akhirnya tewas dalam pertempuran setelah Kresna melemparkan batu ke arahnya.

Referensi :

Bima Swarga

Foto : https://bit.ly/3pIQsMw



    Alkisah, Dewi Kunti mimpi didatangi atma Pandu dan Dewi Madri, minta tolong agar di bebaskan dari neraka, Kunti menyampaikan mimipinya pada Panca Pandawa. Diputuskan Bhima menyampaikan ke Swarga Loka.
    Purnama, dalam suatu prosesi yang hening, Bhima Swarga dimulai. Diiringi Mredah dan Twalen mereka sampai di marga sanga dimana swarga loka berada, di bumi antah karana, di bumi yang menyebabkan sebab segala sebab. Sampai di tegal penangsaran tempat para roh menunggu giliran menghadap bhatara yama menentukan apakah roh masuk sorga atau neraka. Dalam penantian itu para roh menerima hukuman sesuai karmanya. Ada yang disebut atma lara (atma yang sengsara), atma drwaka (atma yang serakah), atma sengsaya (atma yang senantiasa curiga), atma bebotoh (atma penjudi).
    Singkat cerita, setelah menyaksikan penghukuman para atma sesuai kesalahannya, Sang Bhima menemukan Kawah Gomuka. Secepat kilat Bhima membalikan kawah untuk menyelamatkan Atma Sang Pandu dan Dewi Madri.
    Selanjutnya mencari tirta amerta untuk membebaskan dosa yang membelenggu kedua orang tuanya. Setelah diperciki tirta amerta, Pandu dan Dewi Madri berhasil memperoleh kebahagiaan abadi di sorga.

Referensi :

Jumat, 25 Februari 2022

Arjuna Tapa

Foto : https://bit.ly/3M4gHXh




    Diceritakan pada saat masa pengasingan Pandawa, Arjuna memanfaatkan kesempatan tersebut untuk bertapa dengan tujuan memperoleh kekuatan untuk perang Bharatayuda kelak. Arjuna pun berpamitan kepada semua saudaranya dan Drupadi, lalu setelah itu Arjuna pun mulai berangkat ke gunung Indrakila dengan diiringi oleh Twalen dan Werdah. Sesampainya di gunung Indrakila, Arjuna pun langsung memulai tapanya. Pada saat ia bertapa, ia digoda oleh bidadari-bidadari yang diutus oleh Bhatara Indra untuk bertujuan menguji seberapa teguhnya Arjuna bertapa. Namun, semua godaan itu nampaknya tak berhasil meluluhkan hati Arjuna.
    Beralih ke kerajaan Manimantaka, Niwatakawaca (raja Manimantaka) telah mendengar kabar bahwa Arjuna sedang melakukan tapa di gunung Indrakila. Setelah mendengar kabar tersebut, Niwatakawaca pun merasa khawatir apabila Arjuna akan menjadi batu sandungannya untuk menikahi Dewi Supraba. Lantas, Niwatakawaca pun mengutus patih andalannya yaitu Momosimuka untuk menganggu tapa Arjuna. Momosimuka pun segera pergi ke gunung Indrakila. Sesampainya disana, ia pun langsung berubah wujud menjadi seekor babi hutan. Kemudian, ia pun mengeluarkan suara yang sangat keras, supaya Arjuna merasa terganggu dan segera bangun dari tapanya.
    Benar saja, karena suara babi hutan yang sangat keras, spontan Arjuna pun bangun karena terganggu dengan suara tersebut. Arjuna pun langsung mengambil anak panahnya dan melepaskannya ke arah babi hutan tersebut. Akhirnya, Momosimuka pun tewas akibat anak panah dari Arjuna. Arjuna pun segera mendatangi babi hutan tersebut untuk mengambil anak panahnya. Namun, dari arah berlawanan datanglah seorang pemburu yang menghadang Arjuna. Pemburu tersebut mengaku bernama Kiratamaya. Pemburu tersebut mengaku bahwa itu adalah panahnya, karena sedari tadi dia telah mengincar babi tersebut. Kemudian, terjadilah adu mulut antara Arjuna dengan Kiratamaya, yang akhirnya menyebabkan suatu perkelahian.
    Perkelahian antara Arjuna dan Kiratamaya berlangsung sangat sengit, karena kekuatan mereka sama-sama sakti. Kiratamaya memuji kesaktian Arjuna, lalu tiba-tiba Kiratamaya menghilang dan berubah wujud menjadi Bhatara Siwa. Karena keteguhannya dalam bertapa, maka Bhatara Siwa memberikan sebuah senjata bernama Pasupati, dan Bhatara Siwa pun memberi beberapa wejangan-wejangan suci ke Arjuna. (Tamat)

Referensi : -

Kamis, 26 Agustus 2021

Wayang Kulit Cupak

Wayang Cupak termasuk wayang kulit Bali yang sangat langka, adalah pertunjukan wayang kulit yang melakonkan cerita Cupak Grantang yang mengisahkan perjalanan hidup dari dua putra Bhatara Brahma yang sangat berbeda wataknya.

Bentuk pertunjukan wayang ini tidak jauh berbeda dengan wayang kulit Bali lainnya hanya saja tokoh-tokoh utamanya terbatas pada Cupak dan Grantang, Men Bekung dan suaminya Pan Bekung, Raksasa Benaru, Galuh Daha, Prabu Gobagwesi dan lain sebagainya.

Pertunjukan wayang Cupak pada dasarnya masih tetap berpegang kepada pola serta struktur pementasan wayang kulit tradisional Bali (wayang Parwa).

Pagelaran Wayang Cupak melibatkan sekitar 12 orang pemain yang terdiri dari:

1 orang dalang
2 orang pembantu dalang
9 orang penabuh gamelan batel gender wayang.

Di antara lakon-lakon yang biasa dibawakan dalam pementasan wayang Cupak, adalah:

a) Matinya Raksasa Benaru
b) Cupak Dadi Ratu
c) Cupak Nyuti Rupa (Cupak ke sorga)

Kekhasan pertunjukan wayang Cupak ini terasa pada seni suara vokalnya yang memakai tembang-tembang macapat (ginada) dan penampilan tokoh-tokoh Bondres yang sangat ditonjolkan. Wayang Cupak sangat populer di daerah Kabupaten Tabanan.

Referensi :

Wayang Kulit Gambuh


Wayang Gambuh adalah salah satu jenis wayang Bali yang langka, pada dasarnya adalah pertunjukan wayang kulit yang melakonkan ceritera Malat, seperti wayang Panji/wayang Gedog yang ada di Jawa. 
Wayang Gambuh mempunyai hubungan erat dengan drama tari Gambuh, terutama dari sumber lakon, gambelan dan beberapa yang lain. Oleh karena itu, maka dalam banyak hal ini wayang Gambuh merupakan pementasan Gambuh melalui wayang kulit.

Perangkat Wayang Gambuh
Dalam pementasan Wayang Gambuh, biasanya menggunakan barungan gamelan berlaras pelog. Barungan gamelan tersebut antara lain :
  • Beberapa suling besar,
  • Sepasang kendang kerumpungan lanang dan wadon,
  • Sebuah rebab, kajar, klenong, klenang, kempur,
  • Satu tangguh kenyir, ricik, gentorang, 
  • Dua tungguh kangsi,
  • Tiga buah gumanak.
Selain dalam pementasan Wayang Gambuh, barungan ini juga kadang-kadang dipakai untuk pertunjukan Wayang Cupak.
Pertunjukan Wayang Sasak juga memakai barungan yang serupa, hanya seberapa ricikan saja yang tidak dipakai.

Sejarah Wayang Gambuh
Tidak ada yang mengetahui pasti kapan wayang jenis ini berkembang di Bali karena tidak ada sumber tertulis. Jika ada yang mengatakan kelahirannya bersamaan Dramatari Gambuh, maka perkiraan Wayang Gambuh lahir sekitar abad XV (Bandem dkk, 1974:7).
Sedangkan menurut penjelasan alm. I Ketut Rinda, Wayang Kulit Gambuh Bali berasal dari Blambangan (Jawa Timur). Berawal dari Raja Mengwi yang berhasil menaklukkan Raja Blambangan, yakni Mas Sepuh dan Mas Sedah (dalem Tawang Ulun) pada tahun 1634.
Kemudian wayang beserta dalangnya diboyong ke Bali. Dan, raja Mengwi kemudian bergelar I Gusti Agung Blambangan. Pada saat itu, daerah Blahbatuh yang di bawah kepemimpinan I Gusti Ngurah Jelantik masih termasuk daerah kekuasaan Raja Mengwi.
Oleh karena itu, Raja Mengwi tidak keberatan memenuhi permohonan I Gusti Ngurah Jelantik agar wayang dari Blambangan dikirim ke Blahbutuh bersama Mpu kekeran (pedanda Sakti Kekeran). Pemindahan tersebut termasuk dalangnya yang bernama Arya Tega.
Melalui cerita di atas, dapat dikatakan bahwa Wayang Kulit Gambuh lahir dan berkembang di Blahbatuh dengan Arya Tega sebagai dalang yang pertama. Hingga sekarang pun, wayang yang bersejarah tersebut masih sangat dikeramatkan di Puri Blahbatuh.

Perkembangan Wayang Gambuh
Dalam perkembangan selanjutnya, kesenian wayang ini menyebar ke Sukawati dan Badung. Tjokorda Gede Agung Sukawati dari Puri Kaleran Sukawati meniru bentuk Wayang Blahbatuh yang kemudian tersimpan di Pura Penataran Agung Sukawati.
Dalang dari Sukawati yang bernama I Ambul juga pernah mendapatkan pelajaran langsung dari I Gusti Tega (Arya Tega). Ketika Arya Tega meninggal pada kisaran tahun 1905, putranya yang bernama I Gusti Kabor menganti perannya hingga pada tahun 1908.
Setelah itu, anak I Gusti Kabor yang bernama I Gusti Nyoman Pering Tega menggantikan kedudukan ayahnya sebagai seorang dalang. Adapun sejak kurang lebih tahun 1915, sudah tidak ada lagi dalang Wayang Gambuh di wilayah Blahbutuh.
Pada masa kedudukan Jepang tahun 1943, I Ketut Rinda berusaha menghidupkan kembali Wayang Kulit Gambuh, namun tidak banyak membawa hasil. Ia juga membina I Made Sidja dan I Wayan Narta. Sejauh ini hanya dalang I Wayan Narta yang sesekali mementaskannya.

Lakon Dan Tokoh-Tokoh Wayang Gambuh
Biasanya dalam Wayang Gambuh cerita yang di gunakan adalah cerita Panji, misalnya Prabhu Lasem, Terbakarnya Alas Teratai Bang, dan Prabu Gagelang membangun karya di Gunung Pengebel. Nama-nama tokoh dalam Wayang Gambuh diambil dari tokoh dalam dramatari Gambuh, seperti :
  • Panji,
  • Mantri pajang, 
  • Naranat eng Gegelang, 
  • Nrepati jenggala, 
  • Mantri Weke, 
  • Prabu Pajang,
  • Demang, 
  • Tumenggung, 
  • Prabhu Wiranantaja, 
  • Ratnaningrat, 
  • Rangkasari, 
  • Raden Arya, 
  • Bhagawan Melayu, 
  • Raja Kosa, 
  • Raja Bintulu, 
  • Raja Gwa, 
  • Lembu Suranggana, 
  • Jara Dira, 
  • Lawe, 
  • Nabi, 
  • Sirikan, 
  • Singara, 
  • Kadiri, 
  • Demung, 
  • Mataram, 
  • Gagak Dwinda, 
  • Mantring Toker, 
  • Kebo Pater, 
  • Patih, 
  • Mantri rangda, 
  • Tan mundur, 
  • Agun-agun, 
  • Katrangan Banyak, 
  • Angkawa, 
  • Prakasa, 
  • Demung, 
  • Semar, 
  • Jabung, 
  • Togog, 
  • Turas, 
  • Bayan, dan 
  • Sangit. 
Dialog-dialog yang digunakan oleh tokoh-tokoh dalam wayang Gambuh mengunakan bahasa Kawi tengahan (kawi Madia), sesuai dengan bahasa Kawi yang di pakai dalam lontar malat, kecuali tokoh Punakawan yang berbahasa Bali, baik halus, madya, atau kasar.

Referensi :